Main Article Content

Abstract

Latar Belakang: Spondyloepiphyseal Dysplasia Tarda (SEDT) merupakan kelainan genetika terpaut kromosom X yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang belakang. Penyandang SEDT memiliki karakteristik tinggi badan 130-155 cm, dada berbentuk tong, ukuran tangan dan kaki seukuran orang normal. Pada populasi bukan penyandang SEDT dada berbentuk tong dapat menyebabkan perubahan. Hal ini juga mungkin ditemukan antara penyandang SEDT dan orang normal. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai spirometri pada penyandang dan bukan penyandang SEDT di Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain Case Control pada 30 orang penyandang SEDT sebagai kelompok kasus dan 30 orang bukan penyandang SEDT sebagai kelompok kontrol di Kecamatan Kedurang. Metode pengambilan sampel secara  non-probability sampling dengan teknik purposive sampling. Data diperoleh dengan mengukur fungsi faal paru meliputi volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) dengan spirometer. Data dianalisis dengan independent t test untuk data berdistribusi normal dengan uji alternatif Mann-Whitney.

Hasil Penelitian: Nilai rerata VEP1 penyandang SEDT 0,28±0,19 L dan orang normal 1,16±0,47 L. Uji Mann-Whitney menunjukkan p= 0,000 menunjukkanbahwaterdapat perbedaan signifikan nilai VEP1 antara penyandang dan bukan penyandang SEDT. Nilai rerata KVP penyandang SEDT 0,35 ± 0,20L dan orang normal 1,40 ± 0,48 L. Uji T Independent ttabel (11,840) > thitung (2,390) menunjukkan terdapat perbedaan sangat nyata nilai KVP. Nilai rerata perbandingan VEP1/KVPpadapenyandang SEDT yaitu 80,11±18,02% dan orang normal 81,62±11,8%. Uji Mann-Whitney p=0,853 lebih besar daripada p=0,005 menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan nilai perbandingan VEP1/KVP pada penyandang dan bukan penyandang SEDT.

Simpulan: Nilai VEP1 dan KVP pada penyandang SEDT nyata lebih rendah dibandingkan dengan bukan penyandang SEDT. Nilai perbandingan VEP1/KVP menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai yang signifikan antara penyandang dan bukan penyandang SEDT

Article Details

How to Cite
Widyana, D., Ruyani, A., & Putri, S. R. (2015). Perbandingan Nilai Spirometri pada Penyandang dan Bukan Penyandang Spondyloepiphyseal Dysplasia Tarda (SEDT) di Kecamatan Kedurang Kabupaten Bengkulu Selatan. Jurnal Kedokteran Raflesia, 1(1), 1–9. https://doi.org/10.33369/juke.v1i1.8908

References

  1. Singhai A, Singhai P, Gupta R, Jarial KD (2013). True generalized microdontia and hypodontia with spondyloepiphyseal dysplasia. 10: 1155.
  2. Ryu H, Park J, Chae H, Kim M, Kim Y, Ok IY (2012). X-linked spondyloepiphyseal dysplasia tarda: identification of a TRAPPC2 mutation in a Korean pedigree. Ann. Lab. Med, 32 (3): 234–237.
  3. Gedeon AK, Tiller GE, Le Merrer M, Heuertz S, Tranebjaerg L, Chitayat D, Robertson S, et al.(2001). The molecular basis of X-linked spondyloepiphyseal dysplasia tarda. American Journal of Human Genetics, 68 (6): 1386–1397.
  4. Mumm S, Zhang X, Gottesman GS, McAlister WH, Whyte MP (2001). Preonset studies of spondylospiphyseal dysplasia tarda caused by a novel 2-base pair deletion in SEDL encoding sedlin. PubMed, 16 (12): 2245-50.
  5. Tiller GE, Hannig VL, Dozier D, Carrel L, Trevarthen KC, Wilcox WR, Mundlos S (2001). A reccurent RNA-splicing mutation in the sedl gene causes xlinked spondyloepiphyseal dysplasia tarda. 68 (6): 1398-1407.
  6. Jang SB, Kim YG, Cho YS, Suh PG, Kim KH, Oh BH (2002). Crystal structure of SEDL and its implications for a genetic disease spondylo epiphyseal dysplasia tarda. Journal Biologyand Chemical277 (51): 49863–49869.
  7. Tiller GE, Hannig VL (2011). X-linked spondyloepiphyseal dysplasia tarda. Department of Genetics Southern California Permanente Medical Group Los Angeles, California.
  8. Ruyani A, Karyadi B, Muslim C, Sipriyadi, Suherlan (2012). Biomedical and social aspects of spondyloepiphyseal dysplasia tarda cases from Bengkulu District of Indonesia. PubMed, 8 (4): 264-272.
  9. Dahlan S (2012). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-5. Jakarta: Salemba Medika.
  10. Guyton AC, Hall JE (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. pp. 496-501.
  11. Yulaekah S (2007). Paparan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada pekerja industry batu kapur.Universitas Diponegoro. Tesis.
  12. Singh R, Singh JH, Sirisinghe RG (1994). Spirometric In Malaysian Males. Southeast Asian Journal Tropician MedicalPublic Health. 25(2): 341-348.
  13. Lakhera SC, Kain TC (1994). Lung function in middle distance adolescent runners. Indian Journal Physiol Phannacol 38 (2): 117-120
  14. Strippoli MP, Kuehni CE, Dogaru CM, Spycher BD, McNally T, Silverman M, Beardsmore CS (2013). Etiology of ethnic differences in childhood spirometry.Journal of Pediatrics. 131 (6): 1842-9.
  15. Stokes DC, Pyeritz RE, Wise RA, Fairclough D, Murphy EA (1988). Spirometry and Chetwall Dimension in Achondroplasia. Chestnet Journal. 93 (2): 364369.
  16. Nagarajoo SD (2012). Perbandingan faal paru pada pemain badminton dan bukan pemain badminton di fakultas kedokteran USU. Universitas Sumatera Utara.Skripsi.